Kamis, 19 Februari 2009

BEDA BOS DENGAN PEMIMPIN

Bagaimana seseorang dalam menghadapi pertanggung-jawaban, akan memberikan batasan yang jelas antara seorang pemimpin dengan seorang bos. Walau keduanya memahami, semakin tinggi posisi dan kewenangan yang dimiliki seseorang dalam suatu organisasi, semakin besar pula tanggung-jawab yang harus dipikulnya, narnun terdapat perbedaan yang nyata bagaimana seorang pemimpin menerima tanggung-jawab dan seorang bos menghindarinya. Pat Heim dan Elwood Chapman, bahkan menjadikan karakteristik pemimpin ialah orang yang senang mengambil tanggung-jawab yang lebih besar, berani mengambil resiko yang lebih besar dan berani pula mempertanggung-jawabkannya. Hal ini, menurut mereka dalam bukunya Learning to Lead, membedakan kualitas seseorang menjadi seorang pemimpin, diatas peran seorang manajer.

Hal ini mudah difahami, mengapa seorang pemimpin cenderung mengambil tanggung-jawab, terutama bila ia telah memiliki visi, sebuah gambaran cita-cita yang akan ditujunya. Visi, inilah yang akan menggerakkan seorang pemimpin untuk mengambil peran yang lebih besar, sekaligus tanggung-jawab yang leblh besar pula. Visi tidak mungkin tercapai bila organisasi, lembaga atau perusahaan yang dipimpinnya tidak bergerak maju. Pergerakan ini, menuntut mobilitas, membutuhkan sumberdaya yang lebih besar untuk membuka peluang yang besar. Sekaligus, mendatangkan tantangan yang besar, dan resiko yang lebih tinggi. Seorang pemimpin, akan mengambil tanggung-jawab itu.

Seorang pemimpin cenderung mengambil tanggung-jawab lebih besar, sekaligus resiko lebih besar, karena ia “harus” mewujudkan visinya. Dengan visinya, akan memobilisasi pengikutnya untuk mewujudkan visinya. Ia akan kerahkan seluruh kemampuannya untuk semua itu, mengorganisasikan sumberdaya yang dimilikinya, untuk merealisasikan visinya. Karenanya pula, seorang pemimpin yang memiliki visi tidak akan pemah merasa khawatir atas berbagai “kegagalan” yang dialami, selama ia melihat hal itu sebagai proses pembelajaran untuk menuju terwujudnya visi. Secara keseluruhan, ia melihat kegagalan–kekalahan sebagai fluktuasi dan sebuah grafik dengan kecenderungan yang terus mendekat pada tujuannya. Karena itu, seorang pemimpin tidak pernah takut untuk memikul tanggung jawab atas sebuah kegagalan, apalagi lari meninggalkannya.

Keberanian seorang pemimpin mengambil resiko, tentu saja bukan tanpa perhitungan. Secara formal, level seorang pemimpin dalam sebuah organisasi berada diatas seorang manejer. Karenanya, seorang pemimpin setidaknya memahami aspek manajerial, seperti perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan dan pengendalian sebuah organisasi dan kegiatannya. Tanpa kemampuan manajerial yang baik, seorang pemimpin yang memiliki visi harus didukung manajer yang mumpuni, sehingga dalam upaya mewujudkan visinya ia bergerak secara sistematis, terencana dan penuh perhitungan.

Hal ini, bertolak belakang dengan seorang Bos. Bos menduduki posisi tinggi, semata-mata karena formalitas yang mungkin dicapainya dengan sesuatu yang diluar kemampuan (kompetensinya). la berupaya mempertahankan kedudukan, “previlese” dan keistimewaannya, karena itu ia tidak menyukai perubahan. Ia akan berupaya mempertahankan keadaan yang telah ada. Ia tidak mebutuhkan manejer yang akan mendukungnya, karena Ia melihat mereka justru sebagai ancaman yang potensial bagi kedudukannya

Sikap inilah yanq menyebabkan seorang bos, tidak menyukai tanggung-jawab kegagalan, apalagi bila hal itu berarti mempertanggung-jawabkan kegagalan, resiko atau suatu permasalahan. Pertanggung-jawaban berarti kelemahan bagi karirnya, hilangnya keistimewaan, terancamnya kehormatan, Karena itulah ia tidak menyukai perubahan walau itu berarti kemajuan bagi organisasinya. Ia berupaya mempertahan status qua.

Seorang bos tidak memiliki visi, ia hanya menjalankan apa yang telah direncanakan dan disepakati organisasi. Rencana kerja disusun oleh para manager dan stafnya. la akan membiarkan semua itu berjalan. Bila berjalan baik, ia akan dapat tampil sebaik yang dinginkannya. Bila berjalan tersendat, macet ataupun gagal, dengan mudah ia melemparkan tanggung-jawab kepada bawahannya. Bos melemparkan beban ke bawah, dan ia tidak menyukai tanggung-jawab, karena itu Ia menghindarinya…

MUHAMMAD ALDI, SE. *(take of:pakguruonline.pendidikan.net

KESEJAHTERAAN PENDIDIK, SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB?

Artikel ini hanya ditulis untuk mengajak diskusi dan menukar pikiran tentang kesejahteraan pendidik di Indonesia. Siapa yang bertanggung jawab? Mengapa kesejahteraan guru sangat penting terhadap reformasi pendidikan?

Kelihatnya kesejahteraan guru sebagai masalah utama bukan hanya bagi ‘mutu hidup’ guru sendiri, tetapi yang lebih penting ‘mutu pendidikan’. Sebagai contoh;
1. Beberapa kali saya mengajar guru carannya untuk membuat bahan pelajaran yang paling cocok, efektif, dan tanpa biaya, untuk digunakan di laboratorium bahasa. Sistim tersebut hanya perlu lima-belas sampai tiga-puluh minit sehari di luar jam kelas. Mereka jelas sangat tertarik untuk meningkatkan pengetahuan mereka sendiri tetapi mereka juga mengatakan bahwa sistimnya tidak akan dapat dilaksanakan oleh karena mereka harus menggunakan semua waktu di luar kelas untuk “mencari makan” (moonlighting). Berati biar kita rajin melaksanakan pentaloka, seminar, penataran, dll, (tujuannya meningkat kemampuan dan pengetahuan guru) kita jelas percuma tanpa menghadapi kesejahteraan duluan.
2. Selain waktu yang disediakan untuk menyiapkan bahan pengajaran - cara menyampaikan bahan dan perhatian pelajar juga sangat di pengaruhi. Misalnya saya sering mencontohkan ‘cara mengajar secara aktif’ waktu saya menjalankan kegiatan-kegiatan di sekolah SMU. Seringkali guru-guru mengatakan bahwa mereka ingin mengajar secara libih aktif tetapi kalau mereka mengajar seperti saya mencontohkan mereka akan terlalu capai untuk mengajar siswa siang di sekolah lain (atau sampai malam di rumah). Mereka sering mengaku bahwa mereka harus melaksanakan tugasnya di sekolah sambil menjaga kesehatannya, supaya dapat bekerja di tempat lain (sekali lagi masalahnya - mencari makan).

Waktu saya sebagai Konsultan Perkembangan Sekolah di Depdiknas (sampai Desember 2000) dan lagi dinas di sekolah-sekolah SMU seringkali saya diminta guru untuk menyampaikan keadaan dan kesulitan kesejahteraan guru di lapangan ke Dikmenum. Tetapi kalau mereka ditanya ‘apa yang mereka sudah melasanakan untuk menunjukan masalahnya ke Dikmenum sendiri’ jawabannya selalu agak sama - kami hanya guru!. Maksudnya apa ‘guru tidak penting’ atau ‘guru tidak berhak’?

Yang perlu disebut dari awal yaitu bagian anggaran negara untuk pendidikan tidak cukup - kira-kira 4% (misalnya mutu pendidikan di Indonesia kelihatannya ketinggalan 100 tahun di banding dengan Malaysia - 25%). Inilah kewajiban Presiden dan Menteri Pendidikan. Jadi bagiamana kita di lapangan dapat menghadapkan masalah kesejahteraan?

Ada tiga pilihan dasar;

1. Menerima Status Quo
Kita terima nasibnya pendidik dan makin lama makin buruk keadaan pendidikan di negara ini. Kalau kita tidak maju kita tetap mundur oleh karena negera lain akan maju dan kita akan makin ketinggalan. Walapun gaji pendidik dapat di naikkan sedikit-sedikit pendidik masih terpaksa “moonlighting” dan mutu pendidikan dan profesionalisme pendidik akan tetap rendah. Kami dapat merasa baik hati karena masih mau membantu mendidik anak kita (walapun mengorbakan kita sendiri, generasi ini, dan generasi-generasi yang berikut karena masalahnya tidak dibereskan). Kalau kita diam dan menerima kaadaan berati kita setuju. Dengan pilihan ini yang jelas yang bertanggungjawab untuk keadaan kesejahteraan adalah pendidik sendiri.

2. Pemilu Kaki (Vote with your Feet)
Pendidik, calon pendidik dan yang berminat menjadi pendidik mencari profesi lain. Kalau di masa yang akan datang mudah-mudahan pemerintahnya akan mulai serius mengenai pendidikan dan kesejahteraan pendidik akan diperbaiki untuk menarik pengajar kembali. Dengan pilihan ini yang jelas bertanggungjawab untuk keadaan pendidikan dan kesejahteraan adalah pemerintah.

3. Meningkatkan Kesejahteraan dan Mutu Pendidikan Bersama (menurut saya pilihan yang terbaik)
Carannya melaksanakan pilihan ini sebaiknya disebut langsung dari pendidik-pendidik di lapangan (Anda - bukan saya). Mohon menulis saran Anda di forum kami.

Mohon memperhatikan;

  • Apa perannya dan kewajiban pendidik dalam hal perkembangan pendidikan negara (bukan di tingkat sekolah saja)?
  • Apa hubungannya kebersihan dan kebenaran sistim pajak dengan pendidikan?
  • Apakah KKN masih sebagai masalah di bidang pendidkan?
  • Apa peranannya dan kewajiban Kepala Sekolah menghadap perkembangan pendidikan negara (bukan di tingkat sekolah saja)?
  • Carannya meningkatkan kesadaran dan perhatian pemerintah menghadap masalah kesejahteraan pendidik dan SDM di Indonesia.

(taken from: pojokguru.com)